LAPORAN PENELITIAN
PENERAPAN HUKUM
MAWARIS
(Studi Lapangan di
Kabupaten Banyuasin)
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing : Dra. Hj. Rahmawati Rahim, M.Pd.I
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
RADEN FATAH
PALEMBANG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kita diberikan nikmat yang luar biasa berupa kesempatan
memperluas ilmu pengetahuan dan kami dapat menyelesaikan laporan penelitian
yang berjudul “Penereapan Hukum Mawaris”. Sholawat beriring salam senantiasa
kami haturkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita nantikan
syafaatnya di yaumul akhir.
Dalam penulisan laporan penelitian ini tentu penulis
memiliki tujuan, diantaranya yaitu: yang pertama,untuk melengkapi nilai tugas
mata kuliah Fiqh Mawaris semester ganjil 2013/2014. Yang kedua, untuk melatih
penulis dalam menulis sebuah karya ilmiah. Yang ketiga yaitu sebagai penambah
wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing
mata kuliah Fiqh Mawaris, Ibu Dra.Hj.Rahmawati Rahim, M.Pd.I yang telah
memberikan pengarahan kepada penulis sehingga penulisan laporan penelitian ini
dapat kami selsaikan. Selanjutnya ucapan terimakasih kami sampaikan kepada
tokoh masyarakat di daerah Banyuasin yang telah bersedia memberikan informasi
mengenai penerapan mawaris di daerah Banyuasin, sehingga sangat membantu
terselesaikannya laporan penelitian kami. Dan tidak lupa ucapan terimakasih
kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kegiatan penelitian ini.
Dalam penulisan laporan penelitian ini, penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan, karena penulis
juga masih dalam proses belajar. Untuk itu penulis mohon maaf atas kekurangan
yang terdapat dalam laporan penelitian ini. Kritik dan saran yang bersifat
membangun kesempurnaan laporan penelitian ini kami ucapkan terimaksih.
Palembang, 02 Januari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia terdiri dari berbagai suku yang mana setiap suku
memiliki adat kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Diantara
adat yang diturunkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya yaitu kegiatan
ritual sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya, termasuk juga
mengenai warisan. Setiap derah berbeda-beda dalam cara pembagiannya.
Dakwah Islam sudah tersebar di seluruh plosok tanah air
Indonesia. Dan sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Namun
adat kebiasan yang telah turun temurun dari nenek moyang mereka masih belum
dapat dipisahkan dengan kehidupan mereka. Meskipun ada adat yang memang tidak
sesuai dengan syari’at Islam mereka lebih mendahulukan adat mereka. Salah
satunya mengenai pewarisan, seperti yang akan kami bahas dalam laporan
penelitian ini.
Masalah mawaris merupakan yang paling sering dikaji dalam
Al-Qur’an. Dan didalam Al-Qur’an sudah di bahas secara spesifik, namun dalam
aplikasinya terkadang belum sampai. Salah satu dalil yang menjelaskan mengenai
mawaris yaitu QS. An-Nisa ayat 11: “Pembagian harta pusaka itu sesudah dipenuhi
wasiat yang ia (mayat) buat atau sesudah dibayar utangnya.” Juga di terangkan
dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda ,“Apabila menangis anak yang
baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud)
Dari dasar hukum yang telah ditetapkan dapat kita pahami
bahwa pembagian harta waris merupa kan
perihal yang harus di terapkan sesuai ketetapan yang berlaku.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pembagian
warisan di daerah Banyuasin sesuai dengan syari’at Islam?
2.
Metode apa saja
yang digunakan masyarakat Banyuasin dalam pembagian warisan?
3.
Bagaimana
pembagian waris menurut adat di daerah Banyuasin?
4.
Menurut hukum
waris di kabupaten banyuasin, siapa saja yang berhak mendapatkan warisan?
5.
Apakah seorang
anak angkat mendapatkan bagian warisan dari keluarga yang mengangkatnya?
Dilihat dari
rumusan masalah yang dibuat oleh penulis, memiliki tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pembagian warisan di Kabupaten Banyuasin.
2.
Untuk mengetahui
metode yang digunakan masyarakat di Kabupaten Banyuasin
3.
Untuk mengetahui
bagaimana pembagian warisan menurut adat di Kabupaten Banyuasin.
4.
Untuk mengetahui
siapa saja yang berhak mendapatkan warisan menurut hukum warisan di Kabupaten
Banyuasin.
5.
Untuk mengetahui
pembagian warisan kepada anak angkat.
D.
Manfaat
Dari
penelitian ini, manfaat yang dapat diambil oleh penulis yaitu:
- Sebagai media pembelajaran dalam metodologi penelitian
- Melatih dan membiasakan menulis, menyusun kata, dan menggunakan istilah yang baik dan benar.
- Memperluas pengetahuan penulis tentang hukum mawaris menurut syariat islam dan menurut adat istiadat.
- Menyambung silaturahmi dan melatih peneliti dalam berkomunikasi langsung dengan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kata waris berasal dari bahasa Arab mirats.
Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal
yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[1][1] Dijelaskan dari sumber lain,
kata warits dari yaritsu-irtsan-wamiratsan. Kata mirats,
menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.[2][2] Sesuatu itu lebih umum
daripada sekedar harta, yang meliputi ilmu, kemuliaan, dan sebagainya.
Ilmu yang mempelajari tentang harta waris disebut dengan
ilmu mawaris atau sering di sebut ilmu faraid. Kata Fara’id merupakan bentuk
jamak dari faridah, yang diartikan oleh ulama faradiyun semakna dengan kata
mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli
waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sebagian
ulama Faradiyun, mendefinisikan ilmu faraid sebagai berikut: ilmu fiqh yang
bertautkan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara penghitungan
yang dapat menyampaikan kepada pembagian pusaka dan pengetahuan tentang
bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak
pusaka. [3][3]
Hasbi Ash-Shidieqy, dalam bukunya Fiqh mawaris
mendefinisikan ilmu faraid adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak
menerima pusaka dan orang yang tidak dapat menerima pusaka, serta kadar yang
diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.[4][4]
Menurut Prodjodikoro dalam Deni Ahmad Saebani mengungkapkan
bahwa waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang
telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut
juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari
Al-Fananni, makna fara’idh adalah sebagai berikut:
“Fara’idh adalah bentuk jamak dari faridhah,
sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang
telah dipastikan.” Al-Fara’idh menurut istilah bahasa adalah kepastian,
sedangkan menurut istilah syara’ adalah bagian-bagian yang telah
dipastikan untuk ahli waris.
Pengertian waris menurut hukum waris Nasional seperti yang
diungkapkan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya, Hukum Warisan di Indonesia
mengatakan bahwa warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan
hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat
dari wafatnya seseorang. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakanh berbagai
hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia menungga duni akan
beralih kepada orang alain yang masih hidup.
Masalah kewarisan berhubungan erat dengan masalah sistem
kekeluargaan yang dianut. Dalam konteks hukum waris di Indonesia atau hukum
waris Nasional, ada perbedaan mengenai praktik kewarisan yaitu:
a.
Bagi orang-orang
Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum Adat. Yang setiap daerah
berbeda-beda. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai
daerah, ada pengaruhyang nyata dari Peratura Warisan dan Hukum Agama Islam.
b.
Bagi orang-orang
Arab sekitarnya pada umumnya seuruh hukum warisan dari agama Islam.
c.
Bagi orang-orang
Tionghoa dan Eropa berlaku hukum waris dari Burgerlijk Wetboek) Buku II
title 12/18, pasal 830-1130).[5][5]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang
berlaku di Indonesia antara lain yaitu, hukum adat, hukum waris Islam, dan
hukum waris burgerlijk wetboek (BW).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang sistematis yang digunakan
dalam suatu kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Sedangkan
penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan
sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan
terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa metode penelitian
yaitu suatu cara yang ditempuh peneliti dalam melaksanakan penelitian untuk
mendapatkan data dan informasi, sehingga perlu ditentukan secara jelas sesuai
dengan arah dan tujuan penelitian.
Berdasarkan variabel penelitian, permasalahan dan teknik
pengumpulan data atau instrument penelitian maka metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik interview (wawancara)
dan angket. Wawancara dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan memberikan
pertanyaan kepada masyarakat yang menjadi sampel dalam penelitian yang di
lakukan di Kabupaten Banyuasin.
Sedangkan angket yang berisi pertanyaan di sebarkan kepada
masyarakat yang juga merupakan narasumber dari kegiatan wawancara dengan
mengisi angket yang telah di sediakan peneliti. Metode ini dianggap tepat dalam
mengkaji masalah yang diajukan, karena ciri khas kualitatif adalah penelitian
yang latar tempat dan waktunya alamiah, peneliti merupakan instrument
pengumpulan data dan kemudian data dianalisis secara induktif guna menjelaskan
proses yang diteliti secara ekspresif (Creswell, 1998).
B. Data dan Sumber Data
Data (sampel) adalah suatu gambaran atau cerminan atau wakil
dari keseluruhan populasi. Mengacu pada penjelasan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa data (sampel) yaitu suatu wakil atau cerminan dari
keseluruhan populasi, sehingga dengan mempertimbangkan jumlah populasi yang
cukup besar, keadaan lapangan penelitian yang luas, keterbatasan waktu dan
kemampuan peneliti, maka penelitian dilakukan terhadap sebagian populasi dengan
memperhatikan keterwakilan dari populasi tersebut dengan sampel 10 orang.
Sampel diambil dari kalangan tokoh masyarakat,pemuka agama
dan tokoh pemerintah di Kabupaten Banyuasin. Peneliti memilih sampel tersebut
dengan pertimbangan bahwa mereka dapat mewakili dari jawaban atas pertanyaan
yang kami ajukan.
Mengenai pembagian warisan di daerah
Banyuasin, masyarakat akan meminta bantuan kepada orang yang lebih tua sebagai
penasehat. Misalnya sesepuh atau tokoh masyarakat yang disegani. Hal ini yang
mendorong peneliti untuk memilih sampel tersebut.
C.
Waktu dan
Jadwal Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
mengadakan penelitian terhadap tokoh masyarakat, pemuka agama dan tokoh
pemerintah di daerah Banyuasin dengan waktu yang cukup lama. Waktu yang
digunakan untuk mengadakan penelitian ini terhitung mulai tanggal 22-29
Desember 2013, yaitu selama 7 hari. Dalam waktu tujuh hari peneliti mengunjungi
rumah narasumber untuk melakukan wawancara. Hal ini dilakukan dengan waktu lama
karena tempat narasumber yang satu dengan yang lainnya berbeda dan jaraknya
yang jauh.
D.
Alur
Penelitian
Alur penelitian data merupaka cara khusus yang digunakan
peneliti dalam menggali data yang diperlukan dalam penelitian tentang penerapan
mawaris di daerah Banyuasin. Adapun alur penelitian yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara (interview) kepada
narasumber yang telah di pilih untuk menjadi sampel untuk memperoleh data.
Sampel tersebut antaralain adalah tokoh masyarakat, pemuka agama, masyarakat
dan tokoh pemerintah, dengan mengajukan 5 pertanyaan, dengan jawaban yang
berdasarkan adat kebiasaan yang umumnya dilakukan dalam pembagian harta waris
di daerah tersebut.
Dari tanggapan 10 narasumber yang diambil dari tokoh
masyarakat, pemuka agama, dan tokoh pemerintah, kami dapat menghasilkan data
sebagai bahan penelitian. Kemudian data dikembangkan dan disimpulkan
sebagaimana tanggapan dari narasumber.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pembagian Warisan di Kabupaten Banyuasin
Penduduk di Kabupaten Banyuasin
mayoritas memeluk agama Islam. Namun dalam praktiknya adat kebudayaan yang
merupakan peninggalan nenek moyang mereka masih sangat kental, sehingga agama
dan kebudayaan berbaur dan sulit di pisahkan. Dari sisi inilah yang menyebabkan
penerapan hukum Islam di daerah ini masih sangat kurang.
Misalnya hukum mengenai warisan yang menjadi objek
penelitian dalam laporan ini. Dalam hal pewarisan, masyarakat Banyuasin belum
dilakukan sesuai dengan Syari’at Islam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Yang pertama, masih melekatnya warisan nenek moyang yang mereka
percayai dan mereka ikuti sebagai adat kebiasaan yang dilakukan secara
turun-temurun. Sehingga mereka meyakini bahwa mereka akan merasa kesulitan dan
tidak mendapatkan keberkahan, jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
hukum adat yang telah ditetapkan.
Yang kedua, syiar Islam yang belum menyeluruh sehingga
pemahaman masyarakat terhadap hukum-hukum islam hanya sebagian saja yang mereka
pahami. Terlebih lagi daerah yang terpelosok dan sulit di jangkau, yang mana
masih sangat minim pengetahuan tentang agama Islam. Dengan kata lain pemahaman
mereka terhadap islam belum kaffah. Sehingga mereka melaksanakan
pembagian waris dengan hukum yang sudah lebih dulu ada dalam masyarakat
tersebut dan mereka jadikan patokan sebagai pedoman mereka.
B.
Pembagian
warisan menurut adat di Kabupaten Banyuasin
Jika dilihat dari data hasil wawancara, masyarakat Banyuasin
belum menerapkan hukum pewarisan yang sesuai dengan Syari’at Islam. Dalam
pembagian harta waris menurut adat, warisan dibagi sama rata, baik laki-laki
maupun perempuan. Mereka beraggapan bahwa membagi yang adil yaitu sama rata
dengan tujuan menghindari dari permasalahan yang ditakutkan akan muncul di
waktu yang akan datang.
Ada sebagaian masyarakat yang pembagian warisannya dengan
memberikan bagian paling banyak kepada anak laki-laki yang tertua, hal ini
dilakukan dengan alasan bahwa anak laki-laki tertua memiliki beban tanggung
jawab yang besar dan juga mereka harus merawat orang tuanya ketika umurnya sudah
tua dan juga bertanggung jawab kepada adiknya jika adiknya masih dalam tanggung
jawab orang tua. Kemudian anak laki-laki yang mendapatkan harta waris tersebut
berbagi dengan saudaranya yang lain sesuai dengan kesepakatan mereka.
Namun ada juga masyarakat yang membagi warisan dengan
memberikan bagian yang lebih banyak kepada ahli waris yang banyak berperan
terhadap seseorang yang meninggalkan warisan. Misalnya seorang anak perempuan
yang dekat dengan orang tuanya dan merawatnya ketika orangtuanya sudah tua dan
sakit-sakitan. Secara otomatis, akan banyak harta, tenaga dan waktu yang
dikorbankan.
Hal ini yang menjadi alasan mereka mendapatkan bagian harta
waris yang lebih banyak. Namun pembagian seperti ini sering menimbulkan iri
hati antara ahli waris yang lain. Sehingga menimbulkan perselisihan yang akan
memunculkan permasalahan.
Untuk itu seharusnya menerapkan syari’at Islam dalam hal
pembagian waris. Seperti yang telah di jelaskan di dalam nash Al-Qur’an dan
Hadits yang menjadi landasan hukum Agama Islam. Agar kehidupan dalam bersaudara
akan harmonis dan islami sehingga tercipta lingkungan yang aman dan tentram
tanpa adanya perselisihan.
C.
Yang
Berhak Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Waris di Kabupaten Banyuasin
Anak
laki-laki yang paling utama, anak perempuan, dan kerabat terdekat.
Seperti yang telah ditetapkan didalam hukum mawaris dalam
syari’at Islam, orang yang berhak menjadi ahli waris atau yang berhak menerima
harta waris yaitu orang-orang yang memiliki hubungan darah atau nasab, selain
itu juga orang sesama muslim.
Berbeda dengan pembagian waris menurut adat di daerah
Banyuasin yang menerapkan hukum kewarisan yang diturunkan nenek moyang mereka.
Dalam pembagian warisan, yang berhak mendapat warisan yaitu keluarga terdekat
yang sedarah. Dengan kata lain satu lingkaran keluarga. Yaitu anak anak
laki-laki dan perempuan, kerabat dekat dan anak angkat.
Hal ini sangat berbeda dengan hukum mawaris menurut syari’at
Islam. Yang mana dalam Islam anak angkat tidaklah mendapat warisan, melainkan
hanya bisa menerima wasiat dari orang tua angkatnya.
D.
Pembagian
Warisan Antara Orang Tua dan Anak
Dalam pembagian warisan menurut hukum adat di Kabupaten
Banyuasin, diantara yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yaitu orang
tua dari seseorang yang meninggalkan warisan. Adapun bagiannya yaitu lebih
banyak di bandingkan bagian yang di terima
anak seorang yang meninggalkan warisan. Hal ini dilakukan dengan alasan
bahwa kebutuhan orang tua akan lebih banyak di bandingkan anak.
Dalam pembagiannya tidaklah sama dengan sistem pembagian
seperti dalam syari’at Islam. yang mana dalam Islam telah di tetapkan
bagian-bagian tiap orang yang menjadi ahli waris. Bahkan hal ini telah di
tetapkan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an perincian bagian perbagian bagi
setiap ahli waris.
Selain itu, pembagian harta waris di Kabupaten banyuasin
dilakukan ketika suami atau istri yang meninggal sudah meninggal pula. Apabila
salah satunya masih hidup, maka warisan belum di bagikan. Misalnya seorang
suami meninggal, Ia meninggalkan istri, anak dan orang tua. Dalam hal ini harta
warisan belum dibagikan, karena masih ada istri yang berhak atas harta yang
ditinggalkan.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pewarisan menurut hukum
adat di Kabupaten banyuasin dalam pembagiannya orang tua yang mendapatkan
bagian yang lebih dari bagian anak. sedangkan harta waris akan di bagikan
ketika kedua pemilik (suami-istri) telah meninggal.
E.
Pembagian
warisan kepada anak angkat
Anak angkat tidak mendapatkan harta warisan dari orang yang
telah mengangkatnya, kecuali berdasarkan wasiat dari orang yang meninggal atau
persetujuan dari ahli waris harta tersebut atau jika orang yang meninggal itu
tidak mempunyai anak sama sekali baru diberikan anak angkat.
Anak angkat adalah seorang yang dianggap menjadi keluarga
seseorang yang mengangkatnya menjadi anak. Hal ini sering terjadi di kalangan
masyarakat dan tidak dilarang menurut agama. Dan bahkan Rasulullah saw. pun
memiliki anak angkat.
Dalam hal pembagian warisan untuk anak angkat menurut hukum
adat di Kabupaten Banyuasin, terdapat tiga perbedaan pendapat. Pendapat yang
pertama, anak angkat tidak mendapatkan warisan, kecuali jika orang yang
mengangkatnya sebagai anak memang tidak memiliki anak kandung, sehingga anak
angkat berhak menerima warisan. Pendapat yang kedua yaitu anak angkat mendapat
sebagian dari harta waris apabila ada anak kandung bersamanya, namun bagianya
tidak sama dengan anak kandung. Sedangkan pendapat ketiga yaitu anak angkat
tidak mendapat warisan, akan tetapi mendapat wasiat dari seorang yang
mengangkatnya sebagai anak.
Pendapat ketiga ini sama dengan pembagian waris menurut
syari’at Islam, yaitu anak angkat hanya mendapatkan wasiat yang
jumlah hartanya tidak lebih dari pembagian harta waris terhadap ahli
waris yaitu tidak melihi dari seperempat bagian dari harta waris.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, pembagian warisan di Kabupaten Banyuasin dalam praktiknya masih
menggunakan adat kebudayaan yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka yang
sangat kental, sehingga agama dan kebudayaan berbaur dan sulit di pisahkan.
Dari sisi inilah yang menyebabkan penerapan hukum Islam di daerah ini masih
sangat kurang.
Adapun pembagian warisannya
secara umum dibagi rata untuk setiap
ahli waris. Namun ada juga sebagian masyarakat yang memberikan warisan yang
paling banyak untuk anak laki-laki, karena anak laki-laki memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap keluarga. Dengan pertimbangan inilah yang menyebabkan
seorang anak laki-laki mendapat bagian yang lebih besar.
Sedangkan ahli waris yang mendapat
bagian warisan antara lain anak dan kerabat dekat. Anak angkat juga mendapat
warisan jika seorang pewaris tidak memiliki anak, sehingga anak angkat seperti
anak kandung.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
mayoritas masyarakat di kabupaten Banyuasin belum menerapkan hukum mawaris yang
sesuai syari’at, walaupun secara umum mereka beragama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Umam,
Khairul Dian, Fiqih Mawaris untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000)
Rofiq,
Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Saebani,
beni Ahmad, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2009)
Rasjid,
Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012)
Ash-Shidieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997)
[1][1] Dian Khairul
Umam, Fiqh mawaris, (Bandung: Pustaka setia. 1999) hlm 11.
[2][2] Beni Ahmad
Saebani, Fiqh mawaris, (Bandung: Pustaka Setia. 2009) hlm14.
[3][3] Dian Khairul
Umam, ibid. hlm 14.
[4][4] Teungku Muhammad
Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1997)
hlm 6.
[5][5] Beni Ahmad
saebani, Ibid. hlm 17