^Jadilah Mutiara Yang Tiada Bandingnya^

"Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita soleha" (HR. Muslim)

Sabtu, 29 Maret 2014

Laporan Penelitian Tentang Hukum Mawaris

LAPORAN PENELITIAN
PENERAPAN HUKUM MAWARIS
(Studi Lapangan di Kabupaten Banyuasin)


Disusun Oleh:

          Nama                            : Kun Farida  (12210128)
Dosen Pembimbing        : Dra. Hj. Rahmawati Rahim, M.Pd.I
 

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN FATAH PALEMBANG
2014




KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kita diberikan nikmat yang luar biasa berupa kesempatan memperluas ilmu pengetahuan dan kami dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Penereapan Hukum Mawaris”. Sholawat beriring salam senantiasa kami haturkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita nantikan syafaatnya di yaumul akhir.
Dalam penulisan laporan penelitian ini tentu penulis memiliki tujuan, diantaranya yaitu: yang pertama,untuk melengkapi nilai tugas mata kuliah Fiqh Mawaris semester ganjil 2013/2014. Yang kedua, untuk melatih penulis dalam menulis sebuah karya ilmiah. Yang ketiga yaitu sebagai penambah wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Mawaris, Ibu Dra.Hj.Rahmawati Rahim, M.Pd.I yang telah memberikan pengarahan kepada penulis sehingga penulisan laporan penelitian ini dapat kami selsaikan. Selanjutnya ucapan terimakasih kami sampaikan kepada tokoh masyarakat di daerah Banyuasin yang telah bersedia memberikan informasi mengenai penerapan mawaris di daerah Banyuasin, sehingga sangat membantu terselesaikannya laporan penelitian kami. Dan tidak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kegiatan penelitian ini.
Dalam penulisan laporan penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan, karena penulis juga masih dalam proses belajar. Untuk itu penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam laporan penelitian ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun kesempurnaan laporan penelitian ini kami ucapkan terimaksih.



Palembang, 02 Januari 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari berbagai suku yang mana setiap suku memiliki adat kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Diantara adat yang diturunkan oleh nenek moyang kepada anak cucunya yaitu kegiatan ritual sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yang diyakininya, termasuk juga mengenai warisan. Setiap derah berbeda-beda dalam cara pembagiannya.
Dakwah Islam sudah tersebar di seluruh plosok tanah air Indonesia. Dan sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Namun adat kebiasan yang telah turun temurun dari nenek moyang mereka masih belum dapat dipisahkan dengan kehidupan mereka. Meskipun ada adat yang memang tidak sesuai dengan syari’at Islam mereka lebih mendahulukan adat mereka. Salah satunya mengenai pewarisan, seperti yang akan kami bahas dalam laporan penelitian ini.
Masalah mawaris merupakan yang paling sering dikaji dalam Al-Qur’an. Dan didalam Al-Qur’an sudah di bahas secara spesifik, namun dalam aplikasinya terkadang belum sampai. Salah satu dalil yang menjelaskan mengenai mawaris yaitu QS. An-Nisa ayat 11: “Pembagian harta pusaka itu sesudah dipenuhi wasiat yang ia (mayat) buat atau sesudah dibayar utangnya.” Juga di terangkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda ,“Apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud)
Dari dasar hukum yang telah ditetapkan dapat kita pahami bahwa pembagian harta waris merupa  kan perihal yang harus di terapkan sesuai ketetapan yang berlaku.

B.     Rumusan Masalah

1.         Apakah pembagian warisan di daerah Banyuasin sesuai dengan syari’at Islam?
2.         Metode apa saja yang digunakan masyarakat Banyuasin dalam pembagian warisan?
3.         Bagaimana pembagian waris menurut adat di daerah Banyuasin?
4.         Menurut hukum waris di kabupaten banyuasin, siapa saja yang berhak mendapatkan warisan?
5.         Apakah seorang anak angkat mendapatkan bagian warisan dari keluarga yang mengangkatnya?

C.    Tujuan
Dilihat dari rumusan masalah yang dibuat oleh penulis, memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pembagian warisan di Kabupaten Banyuasin.
2.      Untuk mengetahui metode yang digunakan masyarakat di Kabupaten Banyuasin
3.      Untuk mengetahui bagaimana pembagian warisan menurut adat di Kabupaten Banyuasin.
4.      Untuk mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan warisan menurut hukum warisan di Kabupaten Banyuasin.
5.      Untuk mengetahui pembagian warisan kepada anak angkat.



     D.    Manfaat
    Dari penelitian ini, manfaat yang dapat diambil oleh penulis yaitu:
  1. Sebagai media pembelajaran dalam metodologi penelitian
  2. Melatih dan membiasakan menulis, menyusun kata, dan menggunakan istilah yang baik dan benar.
  3. Memperluas pengetahuan penulis tentang hukum mawaris menurut syariat islam dan menurut adat istiadat.
  4. Menyambung silaturahmi dan melatih peneliti dalam berkomunikasi langsung dengan masyarakat.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kata waris berasal dari bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[1][1] Dijelaskan dari sumber lain, kata warits dari yaritsu-irtsan-wamiratsan. Kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.[2][2] Sesuatu itu lebih umum daripada sekedar harta, yang meliputi ilmu, kemuliaan, dan sebagainya.
Ilmu yang mempelajari tentang harta waris disebut dengan ilmu mawaris atau sering di sebut ilmu  faraid. Kata Fara’id merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sebagian ulama Faradiyun, mendefinisikan ilmu faraid sebagai berikut: ilmu fiqh yang bertautkan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. [3][3]
Hasbi Ash-Shidieqy, dalam bukunya Fiqh mawaris mendefinisikan ilmu faraid adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak dapat menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.[4][4]
Menurut Prodjodikoro dalam Deni Ahmad Saebani mengungkapkan bahwa waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fananni, makna fara’idh adalah sebagai berikut:
“Fara’idh adalah bentuk jamak dari faridhah, sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah dipastikan.” Al-Fara’idh menurut istilah bahasa adalah kepastian, sedangkan menurut istilah syara’ adalah bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli waris.
Pengertian waris menurut hukum waris Nasional seperti yang diungkapkan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya, Hukum Warisan di Indonesia mengatakan bahwa warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakanh berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia menungga duni akan beralih kepada orang alain yang masih hidup.
Masalah kewarisan berhubungan erat dengan masalah sistem kekeluargaan yang dianut. Dalam konteks hukum waris di Indonesia atau hukum waris Nasional, ada perbedaan mengenai praktik kewarisan yaitu:
a.       Bagi orang-orang Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum Adat. Yang setiap daerah berbeda-beda. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai daerah, ada pengaruhyang nyata dari Peratura Warisan dan Hukum Agama Islam.
b.      Bagi orang-orang Arab sekitarnya pada umumnya seuruh hukum warisan dari agama Islam.
c.       Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum waris dari Burgerlijk Wetboek) Buku II title 12/18, pasal 830-1130).[5][5]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia antara lain yaitu, hukum adat, hukum waris Islam, dan hukum waris burgerlijk wetboek (BW).




BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Metode Penelitian

Metode adalah suatu cara yang sistematis yang digunakan dalam suatu kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Sedangkan penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. 
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa metode penelitian yaitu suatu cara yang ditempuh peneliti dalam melaksanakan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi, sehingga perlu ditentukan secara jelas sesuai dengan arah dan tujuan penelitian.
Berdasarkan variabel penelitian, permasalahan dan teknik pengumpulan data atau instrument penelitian maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik interview (wawancara) dan angket. Wawancara dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan memberikan pertanyaan kepada masyarakat yang menjadi sampel dalam penelitian yang di lakukan di Kabupaten Banyuasin.
Sedangkan angket yang berisi pertanyaan di sebarkan kepada masyarakat yang juga merupakan narasumber dari kegiatan wawancara dengan mengisi angket yang telah di sediakan peneliti. Metode ini dianggap tepat dalam mengkaji masalah yang diajukan, karena ciri khas kualitatif adalah penelitian yang latar tempat dan waktunya alamiah, peneliti merupakan instrument pengumpulan data dan kemudian data dianalisis secara induktif guna menjelaskan proses yang diteliti secara ekspresif (Creswell, 1998).


B.     Data dan Sumber Data
Data (sampel) adalah suatu gambaran atau cerminan atau wakil dari keseluruhan populasi. Mengacu pada penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa data (sampel) yaitu suatu wakil atau cerminan dari keseluruhan populasi, sehingga dengan mempertimbangkan jumlah populasi yang cukup besar, keadaan lapangan penelitian yang luas, keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti, maka penelitian dilakukan terhadap sebagian populasi dengan memperhatikan keterwakilan dari populasi tersebut dengan sampel 10 orang.
Sampel diambil dari kalangan tokoh masyarakat,pemuka agama dan tokoh pemerintah di Kabupaten Banyuasin. Peneliti memilih sampel tersebut dengan pertimbangan bahwa mereka dapat mewakili dari jawaban atas pertanyaan yang kami ajukan.
            Mengenai pembagian warisan di daerah Banyuasin, masyarakat akan meminta bantuan kepada orang yang lebih tua sebagai penasehat. Misalnya sesepuh atau tokoh masyarakat yang disegani. Hal ini yang mendorong peneliti untuk memilih sampel tersebut.


C.    Waktu dan Jadwal Penelitian
            Dalam penelitian ini, peneliti mengadakan penelitian terhadap tokoh masyarakat, pemuka agama dan tokoh pemerintah di daerah Banyuasin dengan waktu yang cukup lama. Waktu yang digunakan untuk mengadakan penelitian ini terhitung mulai tanggal 22-29 Desember 2013, yaitu selama 7 hari. Dalam waktu tujuh hari peneliti mengunjungi rumah narasumber untuk melakukan wawancara. Hal ini dilakukan dengan waktu lama karena tempat narasumber yang satu dengan yang lainnya berbeda dan jaraknya yang jauh.

D.    Alur Penelitian
Alur penelitian data merupaka cara khusus yang digunakan peneliti dalam menggali data yang diperlukan dalam penelitian tentang penerapan mawaris di daerah Banyuasin. Adapun alur penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara (interview) kepada narasumber yang telah di pilih untuk menjadi sampel untuk memperoleh data. Sampel tersebut antaralain adalah tokoh masyarakat, pemuka agama, masyarakat dan tokoh pemerintah, dengan mengajukan 5 pertanyaan, dengan jawaban yang berdasarkan adat kebiasaan yang umumnya dilakukan dalam pembagian harta waris di daerah tersebut.
Dari tanggapan 10 narasumber yang diambil dari tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh pemerintah, kami dapat menghasilkan data sebagai bahan penelitian. Kemudian data dikembangkan dan disimpulkan sebagaimana tanggapan dari narasumber.





BAB IV
HASIL PENELITIAN

A.    Pembagian Warisan di Kabupaten Banyuasin  
 
            Penduduk di Kabupaten Banyuasin mayoritas memeluk agama Islam. Namun dalam praktiknya adat kebudayaan yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka masih sangat kental, sehingga agama dan kebudayaan berbaur dan sulit di pisahkan. Dari sisi inilah yang menyebabkan penerapan hukum Islam di daerah ini masih sangat kurang.
Misalnya hukum mengenai warisan yang menjadi objek penelitian dalam laporan ini. Dalam hal pewarisan, masyarakat Banyuasin belum dilakukan sesuai dengan Syari’at Islam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama, masih melekatnya warisan nenek moyang yang mereka percayai dan mereka ikuti sebagai adat kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Sehingga mereka meyakini bahwa mereka akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan keberkahan, jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum adat yang telah ditetapkan.
Yang kedua, syiar Islam yang belum menyeluruh sehingga pemahaman masyarakat terhadap hukum-hukum islam hanya sebagian saja yang mereka pahami. Terlebih lagi daerah yang terpelosok dan sulit di jangkau, yang mana masih sangat minim pengetahuan tentang agama Islam. Dengan kata lain pemahaman mereka terhadap islam belum kaffah. Sehingga mereka melaksanakan pembagian waris dengan hukum yang sudah lebih dulu ada dalam masyarakat tersebut dan mereka jadikan patokan sebagai pedoman mereka.

B.     Pembagian warisan menurut adat di Kabupaten Banyuasin
Jika dilihat dari data hasil wawancara, masyarakat Banyuasin belum menerapkan hukum pewarisan yang sesuai dengan Syari’at Islam. Dalam pembagian harta waris menurut adat, warisan dibagi sama rata, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beraggapan bahwa membagi yang adil yaitu sama rata dengan tujuan menghindari dari permasalahan yang ditakutkan akan muncul di waktu yang akan datang.
Ada sebagaian masyarakat yang pembagian warisannya dengan memberikan bagian paling banyak kepada anak laki-laki yang tertua, hal ini dilakukan dengan alasan bahwa anak laki-laki tertua memiliki beban tanggung jawab yang besar dan juga mereka harus merawat orang tuanya ketika umurnya sudah tua dan juga bertanggung jawab kepada adiknya jika adiknya masih dalam tanggung jawab orang tua. Kemudian anak laki-laki yang mendapatkan harta waris tersebut berbagi dengan saudaranya yang lain sesuai dengan kesepakatan mereka.
Namun ada juga masyarakat yang membagi warisan dengan memberikan bagian yang lebih banyak kepada ahli waris yang banyak berperan terhadap seseorang yang meninggalkan warisan. Misalnya seorang anak perempuan yang dekat dengan orang tuanya dan merawatnya ketika orangtuanya sudah tua dan sakit-sakitan. Secara otomatis, akan banyak harta, tenaga dan waktu yang dikorbankan.
Hal ini yang menjadi alasan mereka mendapatkan bagian harta waris yang lebih banyak. Namun pembagian seperti ini sering menimbulkan iri hati antara ahli waris yang lain. Sehingga menimbulkan perselisihan yang akan memunculkan permasalahan.
Untuk itu seharusnya menerapkan syari’at Islam dalam hal pembagian waris. Seperti yang telah di jelaskan di dalam nash Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi landasan hukum Agama Islam. Agar kehidupan dalam bersaudara akan harmonis dan islami sehingga tercipta lingkungan yang aman dan tentram tanpa adanya perselisihan.

C.    Yang Berhak Mendapatkan Warisan Menurut Hukum Waris di Kabupaten Banyuasin
Anak laki-laki yang paling utama, anak perempuan, dan kerabat terdekat.
Seperti yang telah ditetapkan didalam hukum mawaris dalam syari’at Islam, orang yang berhak menjadi ahli waris atau yang berhak menerima harta waris yaitu orang-orang yang memiliki hubungan darah atau nasab, selain itu juga orang sesama muslim.
Berbeda dengan pembagian waris menurut adat di daerah Banyuasin yang menerapkan hukum kewarisan yang diturunkan nenek moyang mereka. Dalam pembagian warisan, yang berhak mendapat warisan yaitu keluarga terdekat yang sedarah. Dengan kata lain satu lingkaran keluarga. Yaitu anak anak laki-laki dan perempuan, kerabat dekat dan anak angkat.
Hal ini sangat berbeda dengan hukum mawaris menurut syari’at Islam. Yang mana dalam Islam anak angkat tidaklah mendapat warisan, melainkan hanya bisa menerima wasiat dari orang tua angkatnya.

D.    Pembagian Warisan Antara Orang Tua dan Anak
Dalam pembagian warisan menurut hukum adat di Kabupaten Banyuasin, diantara yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yaitu orang tua dari seseorang yang meninggalkan warisan. Adapun bagiannya yaitu lebih banyak di bandingkan bagian yang di terima  anak seorang yang meninggalkan warisan. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kebutuhan orang tua akan lebih banyak di bandingkan anak.
Dalam pembagiannya tidaklah sama dengan sistem pembagian seperti dalam syari’at Islam. yang mana dalam Islam telah di tetapkan bagian-bagian tiap orang yang menjadi ahli waris. Bahkan hal ini telah di tetapkan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an perincian bagian perbagian bagi setiap ahli waris.
Selain itu, pembagian harta waris di Kabupaten banyuasin dilakukan ketika suami atau istri yang meninggal sudah meninggal pula. Apabila salah satunya masih hidup, maka warisan belum di bagikan. Misalnya seorang suami meninggal, Ia meninggalkan istri, anak dan orang tua. Dalam hal ini harta warisan belum dibagikan, karena masih ada istri yang berhak atas harta yang ditinggalkan.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pewarisan menurut hukum adat di Kabupaten banyuasin dalam pembagiannya orang tua yang mendapatkan bagian yang lebih dari bagian anak. sedangkan harta waris akan di bagikan ketika kedua pemilik (suami-istri) telah meninggal.

E.     Pembagian warisan kepada anak angkat
Anak angkat tidak mendapatkan harta warisan dari orang yang telah mengangkatnya, kecuali berdasarkan wasiat dari orang yang meninggal atau persetujuan dari ahli waris harta tersebut atau jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak sama sekali baru diberikan anak angkat.
Anak angkat adalah seorang yang dianggap menjadi keluarga seseorang yang mengangkatnya menjadi anak. Hal ini sering terjadi di kalangan masyarakat dan tidak dilarang menurut agama. Dan bahkan Rasulullah saw. pun memiliki anak angkat.
Dalam hal pembagian warisan untuk anak angkat menurut hukum adat di Kabupaten Banyuasin, terdapat tiga perbedaan pendapat. Pendapat yang pertama, anak angkat tidak mendapatkan warisan, kecuali jika orang yang mengangkatnya sebagai anak memang tidak memiliki anak kandung, sehingga anak angkat berhak menerima warisan. Pendapat yang kedua yaitu anak angkat mendapat sebagian dari harta waris apabila ada anak kandung bersamanya, namun bagianya tidak sama dengan anak kandung. Sedangkan pendapat ketiga yaitu anak angkat tidak mendapat warisan, akan tetapi mendapat wasiat dari seorang yang mengangkatnya sebagai anak.
Pendapat ketiga ini sama dengan pembagian waris menurut syari’at Islam, yaitu anak angkat hanya mendapatkan wasiat  yang  jumlah hartanya tidak lebih dari pembagian harta waris terhadap ahli waris yaitu tidak melihi dari seperempat bagian dari harta waris.



KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil penelitian di atas, pembagian warisan di Kabupaten Banyuasin dalam praktiknya masih menggunakan adat kebudayaan yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka yang sangat kental, sehingga agama dan kebudayaan berbaur dan sulit di pisahkan. Dari sisi inilah yang menyebabkan penerapan hukum Islam di daerah ini masih sangat kurang.
            Adapun pembagian warisannya secara  umum dibagi rata untuk setiap ahli waris. Namun ada juga sebagian masyarakat yang memberikan warisan yang paling banyak untuk anak laki-laki, karena anak laki-laki memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga. Dengan pertimbangan inilah yang menyebabkan seorang anak laki-laki mendapat bagian yang lebih besar.
            Sedangkan ahli waris yang mendapat bagian warisan antara lain anak dan kerabat dekat. Anak angkat juga mendapat warisan jika seorang pewaris tidak memiliki anak, sehingga anak angkat seperti anak kandung.
            Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas masyarakat di kabupaten Banyuasin belum menerapkan hukum mawaris yang sesuai syari’at, walaupun secara umum mereka beragama Islam.
             

 


DAFTAR PUSTAKA

Umam, Khairul Dian, Fiqih Mawaris untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka
         Setia, 2000)
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Saebani, beni Ahmad, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2009)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012)
Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
        1997)













[1][1] Dian Khairul Umam, Fiqh mawaris, (Bandung: Pustaka setia. 1999) hlm 11.
[2][2] Beni Ahmad Saebani, Fiqh mawaris, (Bandung: Pustaka Setia. 2009) hlm14.
[3][3] Dian Khairul Umam, ibid. hlm 14.
[4][4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1997) hlm 6.
[5][5] Beni Ahmad saebani, Ibid. hlm 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar